Langsung ke konten utama

Bebe(s)


Eheemmm.,

Semuanya, ada yang pernah menonton film yang berjudul Babies? Film dokumenter keluaran tahun 2010 ini berkisah tentang kehidupan bayi-bayi di beberapa penjuru dunia yang berbeda-beda bahasa, budaya, dan lingkungan tempat mereka dibesarkan. Thomas Belmes mendokumentasikan bayi-bayi tersebut mulai dari mereka lahir hingga mereka dapat berjalan untuk pertama kalinya. Film ini selalu membuat saya geli ketika melihat tingkah pola bayi-bayi tersebut.

Saya sendiri jarang sekali bersentuhan dengan bayi. Perbedaan umur saya dengan adik-adik saya adalah 3 tahun dan 5 tahun. Sehingga, saya masih terlalu kecil pada saat itu untuk menikmati rasanya bersentuhan langsung dengan adek bayi. Pengalaman pertama saya berurusan dengan bayi-bayi adalah saat saya KKN. Dimana, di desa tempat KKN saya, cukup terkenal dengan pola masyarakatnya yang berani menikah muda, sehingga disana cukup banyak keluarga yang memiliki anak pada kisaran umur 0 – 3 tahun. Saya sering harus berhadapan dengan bayi dan balita ketika program posyandu dijalankan. Saya biasanya membantu ibu-ibu untuk menimbang berat badan bayi dan balita tersebut kemudian mencatat angka yang terbaca di timbangan tersebut pada buku tumbuh kembang anak. Lucunya, timbangan yang digunakan di desa tersebut sangat sederhana. Mereka cukup menggunakan keranjang rotan dan semacam bandul bemberat yang telah dilengkapi dengan pembacaan skala. Seringkali bayi dan balita tersebut menangis ketika ditidurkan di keranjang rotan tersebut. Entah apa yang membuat mereka ketakutan atau cemas? Hal itu masih misteri buat saya. Hehehhh *lebay.


Don't be afraid

Dulu saya merasa takut jika berada di dekat anak kecil. Tapi semenjak itu saya jadi mulai berani dan selalu penasaran dengan bayi-bayi dan balita. Suatu ketika, salah satu teman saya memperkenalkan saya pada sebuah tempat di sepanjang selokan Mataram di daerah Seturan, Jogjakarta. Tempat tersebut adalah sebuah panti asuhan yang merawat bayi-bayi dan anak-anak kecil dibawah umur tujuh tahun. Perbedaan yang saya rasakan ketika bersentuhan dengan bayi-bayi yatim piatu dengan bayi yang masih memiliki kedua orang tuanya adalah bayi-bayi yatim piatu tersebut lebih mandiri, mereka jarang rewel dan mudah beradaptasi dengan orang-orang baru. Di panti asuhan tersebut sering saya temui sepasang suami istri yang sangat ingin mengadopsi bayi-bayi tersebut. Hingga tidak jarang saya hanya bertemu dengan seorang bayi satu kali, dan kali berikutnya saya berkunjung ke panti asuhan tersebut, bayi itu telah diadopsi oleh seseorang. Namun, yang bikin saya bingung hingga sekarang, kenapa yah teman saya selalu rutin mengajak saya berkunjung ke panti asuhan itu pada hari-hari menjelang ujian? Hahh, misteri lagi buat saya.

Setelah belajar untuk mengenal bayi, akhirnya pada bulan April, saya resmi menjadi tante. Yeyyyy. Liburan di bulan Mei ini cukup menyenangkan buat saya, karena dirumah sudah menanti seorang bayi “kecil” yang siap untuk diusilin. Bersama si “kecil” saya belajar untuk menidurkan bayi, memandikan bayi, menggendong bayi, hingga memotong kuku dan rambutnya. Hehehhe. Hal seru lainnya adalah melihat foto-foto dan videonya, memilih-milih baju-baju mini di toko khusus perlengkapan bayi, membelikan botol ASI dengan harga yang mahal dan ternyata di tolak mentah-mentah oleh si “kecil”, menyemangati si “kecil” ketika akan pup (ini yang paling seru), membuka kado-kado pasca aqiqahan dari teman-teman dan saudara-saudara, serta membeli perlengkapan bayi lainnya, seperti bantal, guling, hingga sepatu.


Fidis Shakiy Arsalan

Selain bermain dengan si “kecil” saya juga menyempatkan liburan beberapa hari ke Jakarta, dan mampir ke Bekasi untuk bersua dengan si kecil lainnya. Putri kecil yang satu ini adalah anak dari teman saya dimasa kanak-kanak. Kita juga sebenarnya masih saudara jauh. Terakhir kali bertemu dengan si putri kecil, ketika dia masih didalam kandungan pada umurnya yang menginjak 8 bulan. Sekarang, si putri kecil yang satu ini sudah bisa merangkak dan berdiri dan makan sendiri. Sang ibu mempraktikkan cara makan dengan metode food finger. Si putri kecil dibiarkan makan ubi rebus, kentang rebus, atau pisang dengan tangannya sendiri. Dengan metode food finger, si anak akan mulai belajar tekstur dari makanan yang mereka makan serta melatih kemandiriannya. Gak kerasa deh. Rasanya baru kamarin Thya mengirimkan MMS yang mengabarkan kelahiran si putri kecil, dan sekarang si putri kecil sudah berumur 8 bulan lebih. 

Alanzabryna Darnella Wahyuthya Mahardhika

Komentar

  1. Itu anaknya Thya Can?? Gemeees.. namanya lhoo puanjangnyaa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa. Mirip banget sama thya. namanya gak mau kalah panjang sama ibuknya

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Clever Lands: Motivasi

Gegara punya anak (dan instagram), kebiasaan saya yang lama sempat menghilang. Yakni membaca dan menulis. Sekarang, sedikit sedikit saya ingin mengembalikan kebiasaan baik itu. Dimulai dari membaca. Usai membaca rasanya ingin menuangkannya dalam tulisan dan berbagi ke orang banyak. Gegara punya anak (juga), saya jadi gemar membaca buku parenting dan educating, salah satunya buku berjudul  Clever Lands.  Yang membandingkan sistem pendidikan di lima negara yang dianggap sukses dalam mendidik generasi muda. “Good education is a product of collaboration”. Dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari budaya, kebijakan pemerintah, sampai taktik dan strategi untuk meningkatkan motivasi belajar dan mengajar. Motivasi adalah dorongan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang kerap terus melakukan aktivitas belajar dan mengajar. “Motivation 1.0 is simply that we have a drive for survival. Motivation 2.0 is based on the assumption that humans seek reward and avoid puni...

Obrolan di Meja Makan

Entri ini adalah kelanjutan dari obrolan gak penting di meja makan dan terkait dengan status yang dipasang salah satu temen kantor di whatsap-nya – “Menyibak Fenomenalitas Mangkuk Ayam Jago” Cerita ini timbul karena di ruang makan mess, tersedia dua jenis sendok berbeda bentuk, dimana salah satu bentuk sendok tidak lazim digunakan untuk makan. Cerita ini berlanjut ketika kami berempat berdebat mengenai bentuk sendok yang tidak lazim tersebut. Saya dan Candra merasa sendok tersebut tidak cocok digunakan untuk menyuap nasi, dikarenakan bentuknya yang bulat dan terlalu besar dan lebih cocok digunakan sebagai sendok sup. Salah satu teman membela diri dengan pernyataan bahwa sendok inilah yang biasanya digunakan orang-orang Korea untuk makan nasi. Namun, setelah kami bertiga menilik lebih lanjut, bentuk kepala sendok bisa jadi mirip dengan sendok-sendok yang biasa digunakan orang-orang Korea. Tapi dari segi panjang sendok, jelas sangat berbeda dengan sendok Korea, yang setidak...

One Point Five Degree of Separation

  Akhir-akhir ini saya lagi seneng banget dengerin lagu-lagunya The Script. Dan disetiap ada kesempatan karaoke bareng temen-temen kantor, pasti setidaknya ada satu lagu The Script yang kita nyanyiin bareng. Irama yang dimainkan pada setiap lagunya enak banget untuk didengerin sebelum tidur, selagi di bus menuju kantor atau pulang dari kantor, atau selagi nunggu antrian mandi. Kesukaan saya pada lagu-lagu The Script berawal dari irama musiknya yang enak didengar. Entah lagu itu bercerita tentang apa, atau tentang siapa, pokoknya saya langsung jatuh hati pada semua lagunya. Berawal dari suka, saya mulai menyelami setiap lirik pada lagu-lagu The Script. Dan ternyata, hampir disetiap lagunya mengandung makna seorang "brokenhearted man", baik yang digambarkan secara frontal maupun secara eksplisit. Contohnya saja lagu yang paling sering diputer jaman kuliah dulu, “How can I move on when I still in love with you?” … “Thinking maybe you’ll come back here to ...