Langsung ke konten utama

"Serbu"


Jakarta again. Kalau lagi ke Jakarta kadang suka bingung mau jalan-jalan kemana. Setelah browsing-browsing, ada dua tempat di Jakarta, dan untungnya di Jakarta Selatan, yang cukup membuat saya tertarik. Kedua tempat tersebut adalah museum. Dulu, saya selalu beranggapan bahwa museum itu membosankan, karena kita hanya melihat-lihat barang-barang tak bergerak dengan warna-warna yang kesannya suram karena sudah termakan usia. Kemudian kita juga diharuskan untuk membaca seluruh penjelasan untuk masing-masing barang yang dipajang agar kita mengetahui kisahnya. Tapi semenjak saya mengunjungi museum Ulen Sentalu di daerah Kaliurang, Yogyakarta, saya jadi ketagihan untuk mengunjungi museum yang sejenis. Saya mencoba menyimpulkan, bahwa museum yang dikelola pribadi biasanya akan dikemas lebih menarik dibandingkan dengan museum yang dikelola oleh pemerintah pusat atau daerah. Walaupun keduanya sama-sama menjaga barang-barang bernilai historis dengan sebaiknya-baiknya, tetapi selalu saja ada perbedaan dalam caranya untuk menarik pengunjung. 

Museum pertama yang sangat ingin saya kunjungi, atas rekomendasi dari Icha, adalah museum di tengah kebun” yang berlokasi di Jalan Kemang Timur. Menurut informasi dari internet, museum ini merupakan museum yang dikelola oleh seorang kolektor barang-barang antik dan unik. Dikarenakan pemiliknya sangat membatasi kunjungan museum tersebut, baik dalam hal jam kunjungan, dan jumlah min-max pengunjung, maka kami agak kesulitan untuk mengunjungi museum tersebut. Dan parahnya, kita diharuskan untuk membuat appointment terlebih dahulu dengan pemiliknya.

Pilihan pertama gagal, kami beralih ke pilihan kedua. Museum kedua ini diberi nama oleh pemiliknya “Museum Layangan Indonesia”. Museum ini berlokasi di daerah Pondok Labu, di Jalan Fatmawati, masuk gang sedikit. Kami tiba di museum layangan sekitar pukul tiga sore hari, beberapa menit sebelum waktu berkunjung habis,  sehingga kami berlima menjadi pengunjung terakhir pada hari itu. Rasanya damai banget, di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, masih ada rumah pribadi bergaya mirip rumah Joglo, yang suasananya berasa seperti rumah-rumah di desa. Disini kami dikenalkan dengan baraneka ragam layangan dengan bentuk-bentuk yang unik, dari layangan tradisional, hingga layangan modern. Dari layangan dua dimensi, hingga layangan tiga dimensi. Dari layangan yang menjadi juara satu di festival, hingga layangan yang bisa dimanfaatkan oleh nelayan untuk menangkap ikan. Dari layangan yang terbuat dari daun-daunan, hingga layangan yang terbuat dari kain parasut. Dan sebagainya, dan sebagainya. Sebelum diperkenalkan dengan semua layangan tersebut, kami disuguhi tontonan film mengenai layangan selama kurang lebih 15 menit. Dan, di akhir sesi kunjungan, kami diajak untuk membuat layangan kami sendiri. Rasanya seperti kembali kemasa kanak-kanak. Dan kerennya lagi, semua paket ini bisa kita dapatkan hanya dengan membayar uang retribusi sebesar sepuluh ribu rupiah.




Selain jalan-jalan ke museum, pada liburan ke Jakarta kemarin saya juga berkesempatan untuk menghadiri sebuah exhibition mainan lego bertemakan Star Wars di Balai Kartini. Saya sendiri bukan penggemar mainan lego apalagi penggemar serial Star Wars. Saya bahkan sama sekali tidak tahu-menahu kisah-kisah Star Wars. Tapi untungnya, kami bertemu dengan salah satu anggota committee yang berbaik hati untuk menjelaskan secara singkat kisah mengenai dunia parallel Star Wars ini. Tentang orang baik yang berubah menjadi jahat, dan sebaliknya, orang jahat yang pada akhirnya menjadi baik dan mengalahkan musuh utamanya. Tentang galaksi yang dikuasai oleh sang penguasa, dan penduduk galaksi yang menginginkan kebebasan. Serta, tentang kehebatan teknologi-teknologi mutakhir imajinasi sang pencipta serial Star Wars ini.  Disini, selain kita bisa melihat lego-lego, kita juga bisa bertemu dengan beberapa lakon di film tersebut, dan sekalian foto-foto bareng. Intinya, jalan-jalan ke subuah exhibition  dengan ditemani seorang explainer bagaikan jalan-jalan ke museum. Hehehheh. Tidak lupa menginfokan, biaya retribusi untuk masuk ke dalam pameran ini adalah sebesar sepuluh ribu rupiah saja.





Jadi, liburan kali ini, termasuk liburan yang murah meriah, tapi cukup worth it buat saya. Semuanya, serba sepuluh ribu. "Serrrbuuu".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Clever Lands: Motivasi

Gegara punya anak (dan instagram), kebiasaan saya yang lama sempat menghilang. Yakni membaca dan menulis. Sekarang, sedikit sedikit saya ingin mengembalikan kebiasaan baik itu. Dimulai dari membaca. Usai membaca rasanya ingin menuangkannya dalam tulisan dan berbagi ke orang banyak. Gegara punya anak (juga), saya jadi gemar membaca buku parenting dan educating, salah satunya buku berjudul  Clever Lands.  Yang membandingkan sistem pendidikan di lima negara yang dianggap sukses dalam mendidik generasi muda. “Good education is a product of collaboration”. Dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari budaya, kebijakan pemerintah, sampai taktik dan strategi untuk meningkatkan motivasi belajar dan mengajar. Motivasi adalah dorongan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang kerap terus melakukan aktivitas belajar dan mengajar. “Motivation 1.0 is simply that we have a drive for survival. Motivation 2.0 is based on the assumption that humans seek reward and avoid puni...

Obrolan di Meja Makan

Entri ini adalah kelanjutan dari obrolan gak penting di meja makan dan terkait dengan status yang dipasang salah satu temen kantor di whatsap-nya – “Menyibak Fenomenalitas Mangkuk Ayam Jago” Cerita ini timbul karena di ruang makan mess, tersedia dua jenis sendok berbeda bentuk, dimana salah satu bentuk sendok tidak lazim digunakan untuk makan. Cerita ini berlanjut ketika kami berempat berdebat mengenai bentuk sendok yang tidak lazim tersebut. Saya dan Candra merasa sendok tersebut tidak cocok digunakan untuk menyuap nasi, dikarenakan bentuknya yang bulat dan terlalu besar dan lebih cocok digunakan sebagai sendok sup. Salah satu teman membela diri dengan pernyataan bahwa sendok inilah yang biasanya digunakan orang-orang Korea untuk makan nasi. Namun, setelah kami bertiga menilik lebih lanjut, bentuk kepala sendok bisa jadi mirip dengan sendok-sendok yang biasa digunakan orang-orang Korea. Tapi dari segi panjang sendok, jelas sangat berbeda dengan sendok Korea, yang setidak...

One Point Five Degree of Separation

  Akhir-akhir ini saya lagi seneng banget dengerin lagu-lagunya The Script. Dan disetiap ada kesempatan karaoke bareng temen-temen kantor, pasti setidaknya ada satu lagu The Script yang kita nyanyiin bareng. Irama yang dimainkan pada setiap lagunya enak banget untuk didengerin sebelum tidur, selagi di bus menuju kantor atau pulang dari kantor, atau selagi nunggu antrian mandi. Kesukaan saya pada lagu-lagu The Script berawal dari irama musiknya yang enak didengar. Entah lagu itu bercerita tentang apa, atau tentang siapa, pokoknya saya langsung jatuh hati pada semua lagunya. Berawal dari suka, saya mulai menyelami setiap lirik pada lagu-lagu The Script. Dan ternyata, hampir disetiap lagunya mengandung makna seorang "brokenhearted man", baik yang digambarkan secara frontal maupun secara eksplisit. Contohnya saja lagu yang paling sering diputer jaman kuliah dulu, “How can I move on when I still in love with you?” … “Thinking maybe you’ll come back here to ...