Sejak Agustus 2012, saya merantau ke Borneo
(atau kembali ke asal? *jadi bingung), tepatnya saya merantau ke Tanjung
Tabalong, tempat kendaraan bermotor ber-plat DA berseliweran. Kota-kota di
Kalimantan Selatan, sama halnya dengan Sumatera Selatan sering dikenal sebagai “Kota
Seribu Sungai”. Salah satu teman di kantor mengaku, untuk sampai ke rumahnya
saja dari pintu masuk Wara tempat dia bekerja, dia harus melewati tiga belas
jembatan. Masyarakat Kalimatan Selatan yang tinggal di daerah yang dialiri
banyak sungai, memanfaatkan kondisi geografisnya, salah satunya adalah dengan
melakukan kegiatan berniaga di tengah sungai, atau yang sering kita dengar
dengan sebutan “Pasar Terapung”.
Di pasar terapung, produk-produk yang dijual kebanyakan adalah buah-buahan dan sayur-sayuran, yang mana sering kali ditemukan para pedagang melakukan system barter. Pada bulan November, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu pasar terapung di Muara Kuin, Banjarmasin. But, it’s really unexpected.
Ketika saya tiba di tempat, kondisi pasar malah
seperti kuburan. Sepi. Di jaman sekarang para pedagang lebih memilih untuk
berjualan di pasar darat, walau ada sebagian yang tetap melanjutkan tradisi ini
hingga pukul tujuh pagi, kemudian beralih ke pasar darat hingga tengah hari.
Menurut pengakuan bapak nahkoda jukung (baca:
perahu) yang kami sewa, walaupun sekarang minat pedagang untuk berjualan di
atas jukung menurun, namun
pada musim buah yakni bulan Desember hingga February, Muara Kuin akan dipenuhi
oleh jukung-jukung yang menjual
aneka buah-buahan khas Kalimantan Selatan yang akan sulit ditemukan di Pulau
Jawa. Dan inilah yang sering kali menarik banyak wisatawan (yah, salah timing
dong saya ke sini bulan November). Walaupun kecewa dengan keadaan pasar
terapung yang saya sambangi, saya jadi bersemangat setelah mendengar pernyataan
dari si-empunya jukung. Obsesi
saya selanjutnya adalah menanti hingga tibanya musim buah.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan
yang dinanti akhirnya tiba juga. Semarak aneka dagangan buah bisa dilihat di
pasar Tanjung mulai akhir Desember lalu. Dimulai dari buah kecapi, kasturi,
papakin, langsat, pitanak, ramania, hingga kesemek. Sebagian dari kita mungkin
masih asing dengan nama-nama buah berikut. Nama-nama buah tersebut tidak
dikenalkan oleh guru-guru kita di sekolah sewaktu kita SD dulu. Beberapa dari
buah-buahan itu sudah saya cicipi, beberapa ada yang rasanya menyenangkan, ada
yang masih terasa asing di lidah. Buah Kecapi (Sandoricum koetjape)
memiliki tampilan luar dan dalam yang sangat mirip dengan manggis. Soal rasa,
menurut saya, memakan buah ini sama dengan memakan getah buah walaupun rasanya
sedikit manis dan asem. Bahkan menurut Icha, buah kecapi bisa dianalogikan
seperti buah manggis yang sudah dimakan orang kemudian dilepeh dan dikemas
ulang sebagai buah kecapi. Hueeekkk. Bagi masyarakat Banjar buah ini paling
enak dimakan bersama buah-buah rujakan lainnya, seperti bengkoang, nanas,
papaya, dan mangga.
![]() |
Buah Kecapi (rating: *) |
Selanjutnya, ada buah kasturi (Mangifera
casturi). Ukuran dan penampilan luar buah kasturi sangat mirip dengan buah
kedondong. Namun, ketika dikupas ternyata warna daging buah, tekstur, dan
rasanya sangan mirip dengan mangga. Bisa dibilang buah kasturi adalah sebuah
mangga mini. Cara memakannya lebih simple daripada mangga karena ukurannya yang
kecil. Dikupas, digigit, dan diemut-emut. Serat buah kasturi lebih banyak
daripada mangga pada umumnya. Jadi, tidak jarang ketika menggigit buah ini,
akan ada banyak serat yang menyangkut di gigi. Heheheh.
![]() |
Buah Kasturi (rating: ****) |
Kalau untuk buah papakin atau lay (Durio
kutejensis), mungkin gaung namanya sudah didengar sampai ke pulau Jawa.
Dikenal sebagai durian Kalimantan atau durian orens atau durian hutan. Aroma
buah papakin tidak setajam dan semenggoda seperti halnya durian pada umumnya.
Soal tekstur, ketika tersentuh lidah daging buah papakin seperti daging buah
durian yang dilumuri mentega. Sedangkan soal rasa, rasa papakin cukup asing di
lidah saya namun cukup manis. Mungkin karena ini percobaan pertama memakan buah
papakin, dan ekspektasi saya rasanya akan seenak buah durian, jadi ketika
mencicipinya langsung kecewa ditempat. Saya prefer untuk memilih membeli durian di pasar dari pada
papakin, toh durian yang benar-benar durian
tapi ditanam di kebun di Tanjung dan sekitarnya, harganya bersaing dengan harga
papakin.
![]() |
Buah Papakin (rating: *) |
Setelah ngebahas papakin, kita beralih ke
pitanak. Kalau digabung jadinya “pitakin”. Hahahah. Intermezzo aja. Buah pitanak (Nephelium sp) memiliki tampilan luar mirip dengan buah
kelengkeng berukuran jumbo dan berwarna kehitaman. Tampilan dalamnya seperti
buah rambutan (tapi dari jenis yang kalau dimakan tidah terpisah dengan
bijinya). Ukuran biji buah pitanak juga hamper seukuran biji buah rambutan.
Cara makannya, so pasti diemut-emut. Setelah dikupas, langsung dimasukkan ke
mulut, dan dihisap saripatinya, kemudian buang ampas beserta bijinya. Heheheh.
Soal rasa, saya kurang bisa mendeskripsikannya, karena rasanya belum saya
temukan pada buah lainnya yang sudah pernah saya makan. Tapi, rasa buah pitanak
cukup manis dan enak jika tidak terkontaminasi dengan getah pada kulit buah
pitanak.
![]() |
Buah Pitanak (rating: **) |
Konon, buah-buah khas Kalimantan Selatan ini,
mulai mengalami kepunahan karena pohon-pohon yang tumbuh dengan liar di hutan
sudah mulai digantikan dengan tanaman perkebunan yang nilai ekonomisnya lebih
tinggi, seperti karet dan sawit.
Dulu, di rumah saya tertanam pohon mangga,
pisang, nanas (pisang dan nanas bukan pohon seh :p), sirsak, dan jambu air.
Namun, sekarang pohon yang tersisa hanyalah pohon sirsak, yang bahkan nasibnya
juga sungguh mengenaskan. Saya berharap nantinya bisa memiliki sebuah rumah sederhana
yang akan dipenuhi oleh pohon buah-buahan musiman. Sehingga nantinya akan
selalu ada hal-hal yang dinantikan. Hehehhh :D