Tulisan hari ini dimaksudkan sebagai langkah memperbaiki diri. Memperbaiki diri sebagai pribadi, sebagai istri, dan sebagai ibu. Tercerahkan dari dua buku yang saya pegang sebagai pedoman untuk menjalankan peran sebagai orang tua, yakni buku parenting “Happy Little Soul” dan buku educating “Sekolah Apa Ini?” Saya tulis di-blog selain untuk berbagi, juga sebagai pengingat saya pribadi agar kembali ke jalurnya, sesuai dengan apa yang saya yakini terbaik untuk anak, sesuai dengan praktik-praktik yang dicontohkan dikedua buku tersebut. Ini beneran buku yang ditulis oleh para praktisi dan bukan hanya teori idealisme belaka.
Buku pertama, “Happy Little Soul”
Buku ini diawali oleh kutipan yang buat
saya maknanya sungguh sangat mendalam (menohok). “Untuk ibuku yang tak
kuingat kapan ia pernah marah dan memasang wajah cemberutnya”
Yang saya tahu itu bukan saya. Kemudian saya berusaha mengingat-ingat. Pernahkan saya bertemu dengan
sosok ibu yang tidak pernah marah? Tidak pernah memasang wajah cemberut? Adakah
ibu diluaran sana?
Jadi, bagaimana caranya agar menjadi ibu
yang tidak mudah marah? Tentu, intinya adalah harus sabar. Kita yang harus
sabar bukan anak. Jika kita tenang, maka anak juga akan lebih cepat reda ketika
tantrum. Dibuku ini saya berkali-kali merasa tersindir. Sepertinya saya sebagai
ibu sering melakukan kelalaian, sering melakukan kekhilafan. Dari buku ini saya
serasa sedang dinasihati oleh sabahat sendiri, karena penyampaiannya yang
sangat real, basic, dan disampaikan dengan bahasa yang ringan. Berikut
beberapa advice yang buat saya penting untuk diamalkan:
Berekspresi ketika berbicara kepada anak sesuai
dengan emosi yang ingin disampaikan. Dengan begini, kita bisa sambil
mengajarkannya berempati dan mengenal berbagai emosi.
Wajar seorang anak mencari ibunya, tetapi hal ini membuat saya merasa malu ketika saya tidak bersemangat menyambutnya, tidak bersemangat bermain bersamanya, tidak bersemangat menanggapi perkataanya.
Menghargai apa yang dia lakukan, agar dia dapat
menjadi orang yang bisa menghargai orang lain juga nantinya. Menghargai dengan
menanggapi dia dengan positif membuat dia bersemangat untuk mencoba lagi. Ini bukan tentang
hasil yang dia buat, tapi usaha yang dia lakukan. Dorongan semangat dari orang
tua akan menjadi bahan bakarnya untuk terus mencoba dan berusaha.
Melalui membacakan buku, saya juga punya banyak kesempatan yang baik. Kesempatan menyampaikan nasihat-nasihat yang baik. Kesempatan berdiskusi sederhana tentang sebab akibat, mengapa bisa terjadi seperti ini dan bisa terjadi seperti itu. Kesempatan menanamkan value of life, menanyakan tentang apakah hal ini baik atau buruk.
Children don’t need more things. The best toys children can have is a parent who gets down on the floor and plays with them
Howard Gardner menjelaskan kecerdasan tidak hanya diukur melalui IQ. Ia membagi kecerdasan menjadi 9 bagian (multiple intelligent), yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan musik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial. Memandang bahwa setiap anak cerdas, juga membantu saya mengenal kelebihan dan kekurangannya.
Kita tidak bisa mengendalikan apa yang
akan dikatakan orang lain kepada kita, tetapi kita bisa mengendalikan sikap
kita terhadap kata-kata itu. It is ok, I like myself. I like my self bukan
tentang membanggakan diri. Namun, tentang menerima dan bersyukur, tentang
mencintai diri sendiri, I like the way I am
Belajar berempati. Menanyakan tentang perasaannya.
Apakah senang? Apakah takut? Apakah tidak suka? Mencoba merespons cepat apa yang
terjadi kepadanya. Bertanya dengan memahaminya terlebih dahulu. Mengajak untuk
berempati kepada orang lain. Mengajak untuk memahami perasaan orang lain. Meminta maaf ketika melakukan
kesalahan kepada anak. Meminta anak untuk mengingatkan ketika kita marah-marah.
Mengungkapkan apa saja yang kita rasakan kepada anak.
Terakhir kutipan dari ibuk @retnohening yang akan membuat kita
semakin eling.
Menjadi ibu adalah menjadi bahagia dengan segala problematika yang ada. Menjadi ibu adalah tentang jatuh cinta kepada anak setiap hari. Menjadi ibu adalah tentang belajar. Belajar dari anak kecil yang tidak mengenal dendam. Tetap cinta dan mencari, meskipun sudah dimarahi. Menjadi ibu mengajarkan untuk selalu merasa bersyukur, merasa dibutuhkan, merasa dicintai, merasa menjadi segalanya, dan merasa menjadi sempurna dengan segala ketidaksempurnaan.
Buku kedua, “Sekolah Apa Ini?”
semakin menyempurnakan bacaan saya sebelumnya di buku “Cleverlands” tentang
metode pendidikan mana yang paling ideal buat kami. Menurut saya pesan dan
metode yang disampaikan dibuku ini sangat, sangat, sangat sederhana tapi tidak
mudah juga untuk dipraktikan. Perlu komitmen dan konsistensi dalam
pelaksanaanya nanti. Namun, kesadaran yang ingin saya bentuk sejak saat ini
adalah bahwa orang tua itu harus
ikut terlibat dalam proses belajar anak. Keterlibatan orang tua dalam
proses belajar anak, tentu saja mendorong orang tua untuk terus belajar.
Berikut point-point penting yang saya tangkap dari buku tersebut:
Anak adalah maha guru bagi dirinya, dan sumber belajar bagi teman-temannya
Pertanyaan-petanyaan yang mempertanyakan (the question of questioning) yang mendasari proses sejati mencari, menemukan, dan menghasilkan pengetahuan. Mendengar saya lupa, melihat saya ingat, melakukan saya paham, menemukan sendiri saya kuasai
Riset (re-search) merupakan metode belajar secara langsung yang mendekatkan anak dengan sumber
pengetahuannya. Anak-anak mengamati obyek belajar, melakukan eksplorasi,
mendapatkan pengalaman, hingga menemukan pengetahuan baru. Dengan riset
anak-anak belajar secara
kritis dan mandiri. Empat pilar dalam pendidikan dasar, yakni pangan,
kesehatan, lingkungan, dan sosial budaya.
Diskusi reflektif dan presentasi digunakan untuk mengevaluasi seluruh kegiatan harian. Kumpulan karya-karya atau portofolio digunakan sebagai penilaian akhir. Presentasi sebagai refleksi terhadap keseluruhan proses belajar, bukan menceritakan hasil akhir. Sehingga, menumbuhkan ketrampilan evaluasi diri, tidak tergantung pada penilaian luar.
Tahapan dalam mengerjakan riset, yaitu tahap perencanaan, pencarian data, pengolahan data, dan presentasi. Tahap perencanaan terdiri dari mencari narasumber, membuat daftar pertanyaan, melakukan wawancara, menentukan jadwal praktik, serta mempersiapkan alat dan bahan. Tahap kedua adalah pencarian data, biasanya identik dengan melakukan praktik berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber. Saat melakukan praktik, anak-anak memiliki banyak data. Pada tahap ketiga, data inilah yang kemudian diolah oleh fasilitator untuk menjadi sumber belajar bersama. Fasilitator membantu anak untuk mengingat dan mencatat (kronologi), mengubah peristiwa menjadi data (rekontruksi), dan menghasilkan tulisan untuk kemudian dikaitkan dengan konteks belajar. Tahap terakhir adalah presentasi. Selain fasilitator, orang tua juga turut hadir untuk mendengarkan proses belajar anak-anaknya.
Yang dibangun bukan aturan, melainkan kesepakatan. Kesepakatan ini mencakup menjaga diri, menjaga teman, dan menjaga lingkungan. Kesepakatan yang dibuat harus mengandung maksud dan tujuan. Ada pemahaman mengapa hal ini menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan sebisa mungkin dinyatakan dalam bentuk positif. Konsekuensi selalu berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan. Konsekuensi yang tepat akan memberikan pengalaman belajar dengan tetap menjaga harga diri anak.
Diawal saya membaca buku “Sekolah Apa
Ini?” saya menggebu-gebu nantinya ingin sekali bisa pindahan ke Yogyakarta
dan mendaftarkan #khalilhaydar masuk ke Sanggar Anak Alam. Karena saya sadar
ada yang kurang tepat dengan pendidikan konvensional saat ini; muatan yang
belum tentu sesuai dengan usia perkembangan, pelajaran berbasis hafalan,
pelajaran yang tidak terkait dengan kehidupan nyata (pengetahuan abstrak).
Namun, setelah tuntas membacanya, saya juga kembali disadarkan bahwa pendidikan itu pertama dan utamanya ada di keluarga. Kita juga bisa kok menyemai benih-benih metode belajar di Sanggar Anak Alam dimulai dari lingkungan keluarga. Saya mulai menyadarkan diri agar dapat menjadi orang tua yang haus akan pengetahuan, menjadi pembelajar yang kritis dan mandiri. Selalu mengajak anak untuk mengamati hal-hal disekitarnya. Selalu megajak anak untuk berdiskusi dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Selalu mendengarkan jawaban-jawaban anak, benar atau salah, dan tidak perlu terlalu tergesa-gesa untuk mengoreksi. Mengajak anak untuk melakukan riset sejak dini. Dan, selalu konsisten untuk mendokumentasikan (penting banget!).
Komentar
Posting Komentar