Langsung ke konten utama

One Point Five Degree of Separation


 Akhir-akhir ini saya lagi seneng banget dengerin lagu-lagunya The Script. Dan disetiap ada kesempatan karaoke bareng temen-temen kantor, pasti setidaknya ada satu lagu The Script yang kita nyanyiin bareng. Irama yang dimainkan pada setiap lagunya enak banget untuk didengerin sebelum tidur, selagi di bus menuju kantor atau pulang dari kantor, atau selagi nunggu antrian mandi. Kesukaan saya pada lagu-lagu The Script berawal dari irama musiknya yang enak didengar. Entah lagu itu bercerita tentang apa, atau tentang siapa, pokoknya saya langsung jatuh hati pada semua lagunya. Berawal dari suka, saya mulai menyelami setiap lirik pada lagu-lagu The Script. Dan ternyata, hampir disetiap lagunya mengandung makna seorang "brokenhearted man", baik yang digambarkan secara frontal maupun secara eksplisit.

Contohnya saja lagu yang paling sering diputer jaman kuliah dulu,

“How can I move on when I still in love with you?”
“Thinking maybe you’ll come back here to the place that we’d meet,
And you see me waiting for you on the corner of the street.”
(The man Who Can’t be Moved, 2009).

Atau lagu kedua yang gak kalah frontal,

“They say a few drinks will help me to forget her,
But after one too many I know that I’m never.”
“Oh, I wanted words but all I heard was nothing.”
(Nothing, 2010)

Masih ada lagi, lagu yang menurut saya sedih banget,

“You knocked me over,
when you cried and told the truth”
“No, I’m never giving up ‘til my heart stops beating,
Never letting go ‘til my lungs stop breathing,
I will follow you…”
(Glowing, 2012)

Dan terakhir, lagu ini liriknya agak sedikit misteri buat saya, dan gak kalah “broken heart” juga dengan lagu lainnya,

“Fake a smile, yeah, lie and say that,
You’re better now than ever, and your life’s okay,
When it’s not. No.”
(Six Degree of Separation, 2012)

Untuk lagu yang terakhir ini, secara awam, saya kira makna sederhananya adalah sepasang kekasih yang terpisahkan oleh jarak, waktu, atau keadaan. Karena penasaran, akhirnya saya coba searching lirik lagu ini untuk mencari pencerahan. Dan setelah membaca liriknya, entah kemampuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan, entah saya yang minim jiwa seninya, saya malahan bingung dengan makna “six degree of separation” ini. Tapi sepertinya maksud dari lagu ini adalah enam tanda-tanda perpisahan, yang selalu membuat orang-orang yang ditinggalkan terpuruk dalam kesedihannya.

Lanjut.,

Yang menambah kebingungan saya adalah, ketika saya browsing dengan keyword “ six degree of separation”, artikel yang muncul kebanyakan adalah mengenai sebuah teori yang diperkenalkan oleh Frigyes Karinthy, dan dipopulerkan oleh John Guare.

“Six degree of separation is the theory that everyone and everything is six or fewer steps away, by way of introduction, from any other person in the world, so that chain of a-friend-of-a-friend statement can be made to connect any two people in a maximum of six steps.”
(Sumber: wikipedia.com)

Makna kedua dari “six degree of separation” ini sangat berbeda dengan makna pada lagu sebelumnya. Kalau kata om Guare, semua orang di dunia ini bisa saja saling mengenal satu sama lain. Bahkan, kita bisa saja mengenal Presiden Amerika Serikat atau Pangeran Inggris sekalipun. Kita hanya tinggal mencari enam orang yang tepat agar bisa mengenal orang yang dimaksud. Ketika kita mengenal seseorang yang ternyata orang tersebut adalah adik dari teman kakak kita, atau anak dari teman ayah kita, kadang, tanpa sadar kita sering mengatakan “dunia sempit banget ya”. Nah, itulah yang sering disebut sebagai small world phenomenon.

Untuk membuktikan teori ini, saya mencoba untuk mengingat-ingat, kira-kira adakah seseorang yang saya kenal karena dikenalkan oleh teman-teman-teman-teman-temannya saya. Intinya, saya mencoba mengingat teman yang saya kenal dari perkenalan yang lebih dari enam kali. Dan hasilnya, jaringan yang cukup panjang saya miliki hanya “four degree of separation”. Orang tersebut adalah teman dari temannya istri kakak saya. Jadi separasi yang terbentuk adalah saya yang berhubungan darah secara langsung dengan kakak saya, dimana kakak saya mengenal seorang wanita, kemudian menikahinya, dan istri dari kakak saya ini mempunyai seorang sahabat yang kemudian dikenalkan kepada saya, dan suatu ketika teman dari istri kakak saya ini memperkenalkan saya dengan temannya. Waahh, rasanya panjang banget ya, tapi sebenarnya kita masih terseparasi sejauh empat derajat saja.

Kita semua belum tahu, siapa tahu orang tersebut memiliki sesorang teman dan ternyata temannya tersebut memiliki langganan tukang pijet, yang tidak lain tidak bukan adalah tukang pijet Presiden Republik Indonesia. Who knows? Jadi ketika mencapai six degree of separation akhirnya kita bisa berkenalan secara langsung dengan Bapak Presiden. Hehehe.

Intinya, mungkin karena saya yang kurang aktif di segala situs jejaring social, sehingga jaringan yang saya bentuk juga kurang luas. Dan, mungkin separasi yang bisa diukur dari saya hanya berkisar “one point five to two degree of separation”.

Huuufhhhh.,  

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Hahaha.. 1,5 degrees? Makanya setidaknya bikin twitter gih biar nambah dikit lah jadi 1,75 apa 2,5 :P

    Bu Caniii aku baru ngeh kalo ini blogmu. Maap yaa tapi dengan segera langsung tak follow. Akhirnya ketemu kamu juga di dunia maya, haha.. 202 itu apa? Kamar di Kertos?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ndo, makasih ya sudah di follow.,

      Hooh, 202 itu nomor kamar ku dulu.,Niatnya kan dulu blognya dibuat supaya gak bengong di kamar. Eh, malah terlupakan kalo aku punya blog.

      Twitter? nanti-nanti aja lah ndo. Hehehh. *gak bergeming

      Hapus
  3. hahah.. eh itu masmu kapan nikahnya Bu Can? terus nama masmu Galang po? Kok kayak nama future son-ku *gak penting :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu sudah lama ndo.,
      Udah setaun lebih, malah sudah ada dd bayinya.,

      Terus, nama kk ku Galant. Pake "t" bukan pake "g" ndo. Hehehee.,

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Clever Lands: Motivasi

Gegara punya anak (dan instagram), kebiasaan saya yang lama sempat menghilang. Yakni membaca dan menulis. Sekarang, sedikit sedikit saya ingin mengembalikan kebiasaan baik itu. Dimulai dari membaca. Usai membaca rasanya ingin menuangkannya dalam tulisan dan berbagi ke orang banyak. Gegara punya anak (juga), saya jadi gemar membaca buku parenting dan educating, salah satunya buku berjudul  Clever Lands.  Yang membandingkan sistem pendidikan di lima negara yang dianggap sukses dalam mendidik generasi muda. “Good education is a product of collaboration”. Dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari budaya, kebijakan pemerintah, sampai taktik dan strategi untuk meningkatkan motivasi belajar dan mengajar. Motivasi adalah dorongan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang kerap terus melakukan aktivitas belajar dan mengajar. “Motivation 1.0 is simply that we have a drive for survival. Motivation 2.0 is based on the assumption that humans seek reward and avoid puni...

Obrolan di Meja Makan

Entri ini adalah kelanjutan dari obrolan gak penting di meja makan dan terkait dengan status yang dipasang salah satu temen kantor di whatsap-nya – “Menyibak Fenomenalitas Mangkuk Ayam Jago” Cerita ini timbul karena di ruang makan mess, tersedia dua jenis sendok berbeda bentuk, dimana salah satu bentuk sendok tidak lazim digunakan untuk makan. Cerita ini berlanjut ketika kami berempat berdebat mengenai bentuk sendok yang tidak lazim tersebut. Saya dan Candra merasa sendok tersebut tidak cocok digunakan untuk menyuap nasi, dikarenakan bentuknya yang bulat dan terlalu besar dan lebih cocok digunakan sebagai sendok sup. Salah satu teman membela diri dengan pernyataan bahwa sendok inilah yang biasanya digunakan orang-orang Korea untuk makan nasi. Namun, setelah kami bertiga menilik lebih lanjut, bentuk kepala sendok bisa jadi mirip dengan sendok-sendok yang biasa digunakan orang-orang Korea. Tapi dari segi panjang sendok, jelas sangat berbeda dengan sendok Korea, yang setidak...