Langsung ke konten utama

Dua Belas dan Dua Tahun Berselang


Setelah lelah dengan kesibukan ngantor hampir 12 jam sehari, saya pikir ketika tiba waktunya untuk berlibur, saya akan menghabiskannya untuk leyeh-leyeh dan bermalas-malasan di rumah selama tiga minggu. Tapi ternyata, bermalas-malasan juga ada batasnya. Ketika saya mendapatkan kesempatan untuk cuti selama tiga minggu, waktu satu minggu pertama di rumah, saya manfaatkan untuk menikmati hidup dengan ritme yang slow. Saya banyak mengerjakan pekerjaan rumah, macam menyapu, mengepel, mencuci baju, dan menyetrika. Kadang, waktu luang saya, saya selingi dengan berjalan keliling kota dan membaca buku. Sanking melimpahnya waktu luang yang saya miliki, buku “Titik Nol” sebanyak lebih dari 500 halaman bisa khatam dalam waktu seminggu.
Namun, belum genap satu minggu, rasanya saya sudah ingin mencicipi lagi hidup dengan ritme yang lebih dinamis, walau bukan dengan bekerja. Rasanya, pada saat itu saya ingin segera keluar dari rumah, dan bahkan ingin segera keluar dari kota Surabaya yang terkenal akan kepadatannya. Kemudian, dengan nada bercanda, tiba-tiba ayah menyombongkan sedan Corolla DX 1982-nya. Beliau dengan berlebihan mengatakan bahwa mobil tuanya ini masih sanggup digunakan untuk perjalanan Surabaya-Jogjakarta. Mendengar kata Jogjakarta, tiba-tiba saya jadi sangat ingin menyambanginya.

Dengan tanpa rencana yang matang, akhirnya saya dan kedua orang tua berangkat ke kota Jogjakarta dengan tujuan yang belum jelas. Hendak berbuat apa di Jogja? Kita lihat nanti. Namun, ketika hari H, tiba-tiba ayah mengurungkan niatnya untuk pergi ke Jogjakarta dengan sedannya. Terkendala factor safety, rem yang kurang pakem, dan steering yang suka banting stir ke kiri sedikit ketika mobil di rem. Hehehhe.

Akhirnya kami pergi ke Jogjakarta dengan modal mobil pinjeman milik kakak. Perjalanan Surabaya-Jogjakarta dengan menggunakan kereta api biasanya menghabiskan waktu 5 jam – 6 jam. Namun, kami bertiga sepakat untuk tidak buru-buru tiba di Jogjakarta. Perjalanan ke Jogja kali ini bukan tentang berlibur di kota Jogja, melainkan lebih ingin menikmati road trip Surabaya-Jogjakarta. Karena perjalanan kami dimulai dari kota Gresik, akhirnya diputuskanlah untuk menuju Jogja dengan rute melewati Bojonegoro. Dahulu, rute Surabaya-Bojonegoro hampir selalu kami lewati tiap sekali seminggu. Ketika saya masih di tahun pertama Sekolah Menengah Pertama, saya pernah tinggal di sebuah kota kecil, di Jawa Tengah, tepatnya di Cepu, yang terkenal akan sumber crude oil-nya. Dengan rute Surabaya-Jogjakarta kali ini, otomatis kami berkesempatan untuk mengunjungi Cepu setelah dua belas tahun kami tinggalkan.





Perasaan pertama ketika tiba di kota Cepu adalah kangeeeennnn. Kota Cepu yang dulu berasa sedikit luas karena kemana-mana saya selalu berjalan kaki atau bersepeda, saat itu jadi berasa sangaaatttt kecil, dan tidak sampai 15 menit untuk mengelilingi jalanan utamanya. Kami melewati gang rumah kontrakan kami dulu. Kami juga melewati pasar utama disana. Menyambangi gedung akamigas, yang merupakan gedung paling bagus disana. Saya juga melewati gang tempat dulu saya bersekolah disana. Hehehh. Jadi keinget jaman punya pacar untuk yang pertama kalinya. Sayangnya, kami tidak sempat mampir di rumah makan “Sate Ayu”, sate kambing favorit kami di daerah Padangan. Perjalanan berlanjut ke Jogjakarta.

Tiba di Jogja sekitar pukul 8 malam. Awalanya saya sangat ingin menonton sendratari Ramayana di Prambanan. Namun, berhubung bulan Maret masih masuk ke dalam musim penghujan, maka sendratari yang diselenggarakan bulan Maret diadakan di dalam gedung theatre, bukan di panggung outdoor berlatarkan candi Prambanan. Esoknya, tiba-tiba saya terpikirkan untuk mengunjung “orangtua” saya di Kayubimo, Gunungkidul. Sewaktu masih menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, saya pernah mengikuti program KKN yang berlokasi di daerah Gunungkidul. Di rumah orangtua saya inilah, saya belajar memasak untuk yang pertama kalinya (benar-benar memasak loh, bukan hanya sekedar masak mie instan, masak air, atau goreng krupuk). Saya sangat suka dengan pemandangan selama perjalan ke Kayubimo. Pemandangan di sepanjang jalan dipenuhi dengan pepohonan hutan (wanagama) dan bukit-bukit berbatu. Konon katanya, Gunungkidul dulunya adalah laut purba yang sangat luas. Namun, laut tersebut telah surut/kering dan sekarang menjadi sebuah daratan yang mengandung banyak bebatuan tajam seperti terumbu karang di lautan. Ketika tiba di rumah kedua orang tua saya, saya disambut dengan sangat hangat. Ternyata waktu dua tahun yang berselang belum memudarkan ingatan mereka tentang saya yang dulu pernah tinggal di rumah tersebut selama dua bulan. Duuuhhh, jadi terharrruuuu.




Disana kita banyak mengobrol. Sayangnya, satu bulan yang lalu, nenek yang juga tinggal di rumah tersebut telah meninggal. Konon, kata bapak dan ibuk, nenek tersebut meninggal di usia 125 tahun. Saya sendiri kurang akrab dengan nenek. Saya dulu bahkan tidak terlalu berani untuk mendekatinya. Tapi walau begitu, alhamdulillah ibuk dan bapak sehat-sehat saja, dan masih hidup dengan segala keserhanaannya. Setelah puas mengobrol, saya mengajak kedua orang tua saya (yang sebenarnya) berjalan-jalan ke pantai-pantai di Gunungkidul, dimulai dari Baron hingga Krakal.
Perjalanan tak terencana kali ini sungguh sangat memberikan kesan yang juga unexpected dalam artian positif. Mungkin sekali-kali, teman-teman juga harus mencoba jalan ke suatu tempat tanpa harus menargetkan apapun. Jadi ketika jalan, kita bisa menikmati perjalanan itu, tanpa harus dikejar-kejar waktu dan jadwal yang padat.    

Road Trip:
Surabaya – Gresik – Lamongan – Babat – Bojonegoro – Padangan – Cepu – Padangan – Ngawi – Sragen – Solo – Jogjakarta – Solo – Sragen – Ngawi – Caruban – Nganjuk – Jombang – Surabaya



Postingan populer dari blog ini

Review Buku Clever Lands: Motivasi

Gegara punya anak (dan instagram), kebiasaan saya yang lama sempat menghilang. Yakni membaca dan menulis. Sekarang, sedikit sedikit saya ingin mengembalikan kebiasaan baik itu. Dimulai dari membaca. Usai membaca rasanya ingin menuangkannya dalam tulisan dan berbagi ke orang banyak. Gegara punya anak (juga), saya jadi gemar membaca buku parenting dan educating, salah satunya buku berjudul  Clever Lands.  Yang membandingkan sistem pendidikan di lima negara yang dianggap sukses dalam mendidik generasi muda. “Good education is a product of collaboration”. Dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari budaya, kebijakan pemerintah, sampai taktik dan strategi untuk meningkatkan motivasi belajar dan mengajar. Motivasi adalah dorongan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang kerap terus melakukan aktivitas belajar dan mengajar. “Motivation 1.0 is simply that we have a drive for survival. Motivation 2.0 is based on the assumption that humans seek reward and avoid puni...

Obrolan di Meja Makan

Entri ini adalah kelanjutan dari obrolan gak penting di meja makan dan terkait dengan status yang dipasang salah satu temen kantor di whatsap-nya – “Menyibak Fenomenalitas Mangkuk Ayam Jago” Cerita ini timbul karena di ruang makan mess, tersedia dua jenis sendok berbeda bentuk, dimana salah satu bentuk sendok tidak lazim digunakan untuk makan. Cerita ini berlanjut ketika kami berempat berdebat mengenai bentuk sendok yang tidak lazim tersebut. Saya dan Candra merasa sendok tersebut tidak cocok digunakan untuk menyuap nasi, dikarenakan bentuknya yang bulat dan terlalu besar dan lebih cocok digunakan sebagai sendok sup. Salah satu teman membela diri dengan pernyataan bahwa sendok inilah yang biasanya digunakan orang-orang Korea untuk makan nasi. Namun, setelah kami bertiga menilik lebih lanjut, bentuk kepala sendok bisa jadi mirip dengan sendok-sendok yang biasa digunakan orang-orang Korea. Tapi dari segi panjang sendok, jelas sangat berbeda dengan sendok Korea, yang setidak...

One Point Five Degree of Separation

  Akhir-akhir ini saya lagi seneng banget dengerin lagu-lagunya The Script. Dan disetiap ada kesempatan karaoke bareng temen-temen kantor, pasti setidaknya ada satu lagu The Script yang kita nyanyiin bareng. Irama yang dimainkan pada setiap lagunya enak banget untuk didengerin sebelum tidur, selagi di bus menuju kantor atau pulang dari kantor, atau selagi nunggu antrian mandi. Kesukaan saya pada lagu-lagu The Script berawal dari irama musiknya yang enak didengar. Entah lagu itu bercerita tentang apa, atau tentang siapa, pokoknya saya langsung jatuh hati pada semua lagunya. Berawal dari suka, saya mulai menyelami setiap lirik pada lagu-lagu The Script. Dan ternyata, hampir disetiap lagunya mengandung makna seorang "brokenhearted man", baik yang digambarkan secara frontal maupun secara eksplisit. Contohnya saja lagu yang paling sering diputer jaman kuliah dulu, “How can I move on when I still in love with you?” … “Thinking maybe you’ll come back here to ...