Tinggal di tempat yang jauh dari Bioskop 21 apalagi Blitzmegaplex, membuat saya dan teman-teman menyetok film-film teranyar di dalam hardisk kami, baik internal maupun external setiap kami pulang cuti. Stok film ini biasanya kami tonton ketika pulang kerja atau ketika weekend. Karena mess kami dihuni oleh berbagai orang dari latar belakang suku, umur, pendidikan, dan jenis kelamin yang berbeda-beda, maka bisa dibilang selera film atau genre film yang kami tonton juga beraneka ragam. Dan kebetulan, beberapa teman di mess sangat menggemari film-film Bollywood.
Film India yang pernah saya tonton dari awal hingga akhir cerita bahkan tidak mencapai sepuluh judul film. Film pertama yang saya tonton adalah Kuch Kuch Hota Hai, kemudian disusul oleh Kabhi Kushi Kabhi Gham. Kedua film ini saya tonton ketika saya masih duduk di bangku 6 SD. Selanjutnya, saya tikak pernah lagi menonton film India. Hingga pada tahun 2009, ada seorang teman di kampus yang merekomendasikan film India berjudul Three Idiots, dan menurut saya film ini adalah the best Bollywood movie. Di masa kuliah, saya juga sempat menonton My Name is Khan. Jeda tiga tahun, akhirnya saya menonton film India lagi, berjudul Barfi! Sebenarnya, ada juga film Hollywood, yang mengambil India sebagai latar belakang film atau film yang mengisahkan kehidupan masyarakat India, dengan alur cerita yang sangat apik, seperti Slumdog Millionaire dan Life of Pi. Jadi, mengapa setelah saya menonton deretan film India high quality seperti film-film tersebut, saya masih ber-negative thinking dengan film India?
Saya coba menganalisis, mengapa otak saya selalu merespon negative untuk kata “film India”. Secara umum, ada tiga point utama pada film Bollywood yang membuat saya berfikir dua kali untuk menontonnya. Pertama, durasi film India yang minimal membuat mata melek selama 2,5 jam – 3 jam. Pastinya, hal ini akan membuat mata saya yang sudah minus ini kelelahan. Kedua, adegan nyanyian dan tarian di film India. Entah mengapa, tarian India tidak dapat mempengaruhi emosi saya untuk lebih bersemangat. Bagi beberapa orang mungkin tarian India begitu bersemangat dan sangat mencerminkan budaya India. Minimal 5 menit dari total durasi film dialokasikan untuk tarian dan nyanian ini, dan terkadang tidak hanya sekali tarian tersebut tampil, tapi berkali-kali. Dan, waktu 5 menit tersebut cukup untuk membuat saya terbius, tak sadarkan diri, alias ketiduran menanti kelanjutan kisahnya. Sebenarnya banyak juga judul film India yang pernah saya tonton. Tapi, saya tidak pernah tuntas menontonnya, karena “skip” di pertengahan cerita.
Terakhir, yang kurang menarik dari film India adalah image negative tentang kondisi negara tersebut. Salah satu yang membuat saya tertarik akan sebuah film, selain jalan ceritannya, adalah setting tempat dari sebuah scene film. Image India yang selalu ada dalam bayangan saya adalah suatu negara yang mana tata kota dan suasana kotanya sangat tidak teratur. Dengan jumlah penduduk terpadat setelah Cina, image Negara India di mata saya adalah negri yang kumuh dan padat. Namun, ketika saya menonton salah satu film India berjudul Barfi!, prasangka buruk tentang negara India tersebut berlahan sirna. Bahkan, saya langsung tertarik dengan setting lokasi film tersebut dibuat.
Film ini berlokasi di sebuah kota di timur laut India, yakni di kota Darjeeling. Dan saya langsung penasaran dengan kota ini. Darjeeling terletak di daerah West Bengal, India, berlokasi di kaki Pegunungan Himalaya pada ketinggian 2,050 m dpl. Daerah ini sangat terkenal akan perkebunan tehnya. Perkebunan teh di Darjeeling adalah perkebunan teh terbesar kedua di dunia. Dan taukah Anda? Ternyata perkebunan teh terluas di dunia justru ada di negri kita sendiri, tepatnya di daerah Kerinci, provinsi Jambi. Dan kabarnya teh produksi Kerinci ini merupakan teh dengan kualitas terbaik di dunia, yang dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan teh kayu aro. Selain itu Darjeeling juga berhasil mempertahankan salah satu situs yang menjadi ikon kota ini, yakni Darjeeling Himalayan Railway hingga memperoleh predikat UNESCO Heritage Site. Di film ini, saya sering melihat orang-orang berwajah oriental yang sangat jauh berbeda dengan image orang India yang pernah saya temui. Dan ternyata, mayoritas penduduk di Darjeeling selain orang Hindustan, adalah orang Tibetan.
Note: