Galau : menentukan tanggal maternity leave
Saya sendiri mendapatkan banyak saran dari ibuk-ibuk dikantor untuk mengambil cuti hamil sesuai dengan ha-pe-el. Katanya, supaya tidak rugi. Dan lebih banyak waktu cuti yang dihabiskan dengan sang bayi nantinya. Tapi kemudian ada satu rekan kerja yang menyarankan untuk mengambil cuti seminggu sebelum ha-pe-el. Misinya, supaya saya bisa menyiapkan fisik dan mental dengan lebih rileks dan fokus. Akhirnya, fixed saya mengikuti saran rekan kerja saya yang terakhir ini.
Aktualnya, jarak tanggal
maternity leave saya dengan kelahiran sang bayi adalah 13 hari. Dan memang saya
merasa 13 hari ini saya merasa menjadi manusia yang lebih berkualitas. Bangun
pagi, jalan-jalan pagi keliling kompleks sambil menyapa beberapa tetangga yang
familiar. Senang juga, karena saya dan suami jadi tau rumah tempat tinggal
mereka. Sarapan makan makanan sehat. Bersepeda sore (sepeda statis pastinya). Praktek
senam hamil. Naik turun tangga. Dan lain-lain.
Sehari-hari di kantor,
saya memang lebih banyak duduk di depan komputer. Dan saya juga tidak rutin melakukan
olahraga. Jadi menurut saya, mengambil cuti seminggu atau dua minggu sebelum ha-pe-el,
memang merupakan pilihan yang tepat, terutama ketika kita positif dan yakin
untuk melahirkan secara normal.
Resah : menanti labor contraction, umur kehamilan > 40 minggu
Sebelumnya saya ingin sharing kronologis sampai akhirnya sang labor contraction ini melanda.
Malam hari saat kontrol, hasil usg menunjukkan hasil
yang baik. Kemudian dilakukan kembali pemeriksaan VT. Dan ternyata, saya sudah
memasuki pembukaan dua. Kali ini dokter memberi waktu 1x24 jam. Jika kontraksi
tidak kunjung datang, saya disarankan untuk datang ke rumah sakit, dan akan
dilakukan tindakan induksi.
26 Juli – Hari Rabu
Melihat kronologis di atas, bisa terlihat
kalau saya dan keluarga sangat merasa resah, ketika umur kehamilan saya lebih
dari 40 minggu. Sampai-sampai dalam kurun waktu 1 minggu, saya melakukan usg sampai
tiga kali.
Resah : menanti meconium, umur bayi > 24 jam
Setelah proses persalinan, serta merta bidan akan menawarkan dokter anak untuk memeriksa kondisi sang bayi. Yang saya tahu, dokter anak tersebut akan memastikan kondisi bayi, dimulai dari apakah bayi menangis atau tidak saat lahir? Apa warna air ketuban ibu ketika pecah? Selanjutnya denyut jantung bayi diperiksa, apakah normal? Bayi diberikan vaksin hepatitis. Kemudian, saat rawat inap, dokter anak akan memastikan apakah bayi kuning? Seberapa sering bayi buang air kecil dan besar? Serta memastikan apakah pelekatan bayi dengan ibu sudah benar, terkait fase menyusui.
Resah : menanti meconium, umur bayi > 24 jam
Setelah proses persalinan, serta merta bidan akan menawarkan dokter anak untuk memeriksa kondisi sang bayi. Yang saya tahu, dokter anak tersebut akan memastikan kondisi bayi, dimulai dari apakah bayi menangis atau tidak saat lahir? Apa warna air ketuban ibu ketika pecah? Selanjutnya denyut jantung bayi diperiksa, apakah normal? Bayi diberikan vaksin hepatitis. Kemudian, saat rawat inap, dokter anak akan memastikan apakah bayi kuning? Seberapa sering bayi buang air kecil dan besar? Serta memastikan apakah pelekatan bayi dengan ibu sudah benar, terkait fase menyusui.
Disini, keresahan kedua
saya muncul. Tiga kali sehari, suster akan visit ke kamar saya dan menanyakan
apakah bayi saya sudah buang air besar? Sampai akhirnya 1x24 jam, sang bayi
masih belum juga buang air besar. Dokter anak kemudian memeriksa fisik anus
bayi. Dan hasilnya baik. Akhirnya, dokter memberikan waktu 1x24 jam lagi untuk
menanti buang air besar sang bayi.
Karena sangat resah, saya mulai
browsing mengenai feses pertama bayi yang baru lahir. Dari artikel ini, kami
sekeluarga khawatir jika ada masalah pada sistem pencernaan sang bayi. Ketika
memasuki masa 36 jam setelah kelahiran, tepatnya pukul 09.00 malam, suster
datang ke kamar saya dan meminta ijin untuk membawa sang bayi untuk dilakukan
observasi di ruang bayi. Saat bayi dibawa, suasana menjadi semakin tegang. Kami
sekeluarga pasrah ketika bayi dibawa. Kemudian, alkhamdulillah hal “ajaib”
terjadi. Sekitar 10 menit, setelah bayi saya dibawa, suster tadi tiba-tiba
kembali ke kamar saya, dan mengabarkan kalau bayi saya sudah mengeluarkan
meconium dari dalam tubuhnya.
Hari berikutnya bayi saya
buang air besar sekitar tiga kali, dan frekuensinya semakin sering, seiring
dengan pertumbuhannya. Kesannya memang sedikit merepotkan. Namun, intensitas
buang air besar itu menandakan kalau sistem percernaannya baik dan asupan
asinya juga cukup.
https://www.google.co.id/amp/s/hellosehat.com/mekonium-feses-pertama-bayi/amp/
Resah : menanti colostrum, dan akhirnya kesakitan karena “bendungan”
Sebenarnya saya termasuk ibuk yang beruntung. Segera setelah sang bayi lahir, dokter obgyn dan bidan langsung melakukan “inisiasi menyusui dini” kepada sang bayi sekitar satu jam-an. Namun, ending-nya memang belum sukses, karena sang bayi belum sampai “nemplok” ke puting saya.
Resah : menanti colostrum, dan akhirnya kesakitan karena “bendungan”
Sebenarnya saya termasuk ibuk yang beruntung. Segera setelah sang bayi lahir, dokter obgyn dan bidan langsung melakukan “inisiasi menyusui dini” kepada sang bayi sekitar satu jam-an. Namun, ending-nya memang belum sukses, karena sang bayi belum sampai “nemplok” ke puting saya.
Setelah dilakukan i-em-de,
sang bayi dibersihkan dan diserahkan kembali kepada saya untuk disusui. Alkhamdulillah, bayi saya tidak bingung
puting dan langsung menyusu. Namun, saya sanksi, apakah memang saya sudah
memproduksi asi? Apakah memang puting saya sudah bisa mengeluarkan asi? Kemudian,
bidan mengatakan “it’s ok”. Gerakan natural menyusu bayi akan otomatis menstimulan
produksi asi. Alhasil, keluar atau tidak, saya selalu menyusui sang bayi ketika
ia sadar (tidak tidur).
Kemudian, prahara dimulai
saat malam terakhir di rumah sakit. Tiba-tiba saya merasa payudara saya sakit
sekali. Akhirnya suster mengajak saya untuk pergi ke ruang bayi untuk melakukan
pumping asi. Lima menit, sepuluh menit
menanti, tidak ada asi yang menetes satu pun. Saya mulai panik. Suster datang
dan memeriksa payudara saya. Katanya, pada payudara saya sudah terlanjur terbentuk
semacam “bendungan”. Suster kemudian membantu saya untuk mengkompres dan me-massage
payudara saya, sembari saya pumping. Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya
suster menyerah, dan meminta saya kembali ke kamar. Katanya, hisapan bayi saya
lebih baik daripada hisapan pompa asi.
Kembali ke kamar, saya
langsung brebes mili menahan sakit dan
rasa menggigil. Suami kemudian memanggil
suster untuk datang ke kamar. Alkhamdulillah, suster di RSIA sabar banget. Mbak
suster langsung membangunkan bayi saya dan memaksanya untuk menyusu.
Sambil sang bayi menyusu, suster membantu saya untuk me-massage payudara
saya. Dan rasanya sakit sekali ketika “bendungan” itu dipijat memutar-mutar. Namun, memang cara ini yang
paling ampuh. Pelan tapi pasti, “bendungan” tersebut menghilang. Memang, antara
ibu dan bayi sudah fitrahnya terjalin hubungan “symbiosis mutualisme”. Sang
bayi kenyang, si ibu tidak kesakitan karena produksi asi berlebih dan
“bendungan”.
Tambahan lagi, ketika kita
menyusui sang bayi, secara tiba-tiba akan muncul sensasi kram perut. Serasa
sang labor contraction melanda kembali. Namun, kata suster lagi, hal tersebut
normal, karena dengan menyusui, kita akan memproduksi hormon yang secara
otomatis membantu kita untuk memperkecil rahim.
Note:
Melahirkan di rumah sakit
khusus ibu dan anak memang merupakan pilihan yang tepat. Otomatis, kita tidak
bercampur dengan pasien dengan beragam tipe penyakit. Selain itu banyak
suster-suster yang profesional dibidang mothercare. Di rumah sakit ini, saya belajar
banyak hal secara langsung. Cara memandikan bayi dan membersihkan tali
pusat. Mencoba beberapa posisi menyusui
yang nyaman. Belajar cara mengatasi “bendungan” pada payudara. Dan, cara
mengatasi bayi ketika demam.
Komentar
Posting Komentar