Langsung ke konten utama

Waiting for Labor Contraction, Meconium, and Colostrum

Mendekati “hari perkiraan lahir” , saya merasa mulai muncul banyak kegalauan dan keresahan. Mungkin beberapa hal di bawah ini juga pernah dan akan dirasakan para ibu muda lainnya. Semoga sharing artikel based on experience ini bisa melapangkan dada atau merilekskan wanita hamil dan ibuk-ibuk muda yang cenderung mulai sering merasa khawatir berlebih. 

Galau : menentukan tanggal maternity leave 
Saya sendiri mendapatkan banyak saran dari ibuk-ibuk dikantor untuk mengambil cuti hamil sesuai dengan ha-pe-el. Katanya, supaya tidak rugi. Dan lebih banyak waktu cuti yang dihabiskan dengan sang bayi nantinya. Tapi kemudian ada satu rekan kerja yang menyarankan untuk mengambil cuti seminggu sebelum ha-pe-el. Misinya, supaya saya bisa menyiapkan fisik dan mental dengan lebih rileks dan fokus. Akhirnya, fixed saya mengikuti saran rekan kerja saya yang terakhir ini.

Aktualnya, jarak tanggal maternity leave saya dengan kelahiran sang bayi adalah 13 hari. Dan memang saya merasa 13 hari ini saya merasa menjadi manusia yang lebih berkualitas. Bangun pagi, jalan-jalan pagi keliling kompleks sambil menyapa beberapa tetangga yang familiar. Senang juga, karena saya dan suami jadi tau rumah tempat tinggal mereka. Sarapan makan makanan sehat. Bersepeda sore (sepeda statis pastinya). Praktek senam hamil. Naik turun tangga. Dan lain-lain.

Sehari-hari di kantor, saya memang lebih banyak duduk di depan komputer. Dan saya juga tidak rutin melakukan olahraga. Jadi menurut saya, mengambil cuti seminggu atau dua minggu sebelum ha-pe-el, memang merupakan pilihan yang tepat, terutama ketika kita positif dan yakin untuk melahirkan secara normal.

Resah : menanti labor contraction, umur kehamilan > 40 minggu 
Sebelumnya saya ingin sharing kronologis sampai akhirnya sang labor  contraction ini melanda.

20 Juli – Hari Kamis – Hari kontrol mingguan
Pada saat itu, umur kehamilan saya sudah mendekati 40 minggu, dan di minggu sebelumnya, sang dokter obgyn, memang sudah menyarankan untuk dilakukan VT (vagina touch) di pemeriksaan selanjutnya, yaitu hari ini. Hasil pemeriksaan saat itu, dokter menyimpulkan semuanya baik-baik saja. Perkembangan janin baik. Denyut nadi baik. Ketuban baik. Posisi bayi baik. Dan hasil VT menunjukkan saat itu saya sudah pembukaan satu. Rekomendasi dokter, jika tiba-tiba saya merasakan kontraksi, pecah ketuban, atau muncul bercak darah, saya harus segera dibawa ke rumah sakit.

21 Juli – Hari Jumat
Setelah saya jalan-jalan pagi saya menemukan flek kecoklatan pada celana dalam saya. Browsing sana sini, akhirnya saya menyimpulkan bahwa ini hanya flek, dan bukan bercak darah. Dan hal ini normal terjadi setelah wanita hamil dilakukan pemeriksaan VT. Keputusan: melanjutkan penantian.

24 Juli – Hari Senin – Umur kehamilan 40 minggu
Berhubung umur kehamilan sudah masuk 40 minggu, mulai banyak juga saudara-saudara, bude, tante, om, pak de, teman-teman, dan orang tua, serta mertua yang menanyakan kondisi saya. “Gimana? Apa uda terasa kontraksi nya?” “Sudah lahiran atau belum?” Namun, apa mau dikata, saya masih merasa bugar dan rasa-rasanya belum muncul tanda-tanda akan melahirkan, seperti yang dikatakan dokter hari Kamis kemarin. Alhasil, karena bingung suami mengajak saya ke dokter obgyn lagi untuk kontrol, tidak mau menunggu sampai hari Kamis minggu depan.
Malam hari saat kontrol, hasil usg menunjukkan hasil yang baik. Kemudian dilakukan kembali pemeriksaan VT. Dan ternyata, saya sudah memasuki pembukaan dua. Kali ini dokter memberi waktu 1x24 jam. Jika kontraksi tidak kunjung datang, saya disarankan untuk datang ke rumah sakit, dan akan dilakukan tindakan induksi.
 25 Juli – Hari Selasa
Kontraksi tidak kunjung datang. Browsing sana sini tentang proses induksi. Akhirnya saya menemukan blog yang menarik mengenai induksi dan beberapa kasus kehamilan lebih dari 40 minggu. Blog “bidan kita” menjelaskan bahwa kehamilan lebih dari 40 minggu masihlah normal. Karena batas kewajaran umur kehamilan bisa sampai 42 minggu. Pada blog tersebut juga dijelaskan tentang kemungkinan keberhasilan proses induksi, menggunakan sistem scoring “bishop”. Dan akhirnya saya menyimpulkan jika besok saya ke rumah sakit dan dilakukan induksi kemungkinan keberhasilannya rendah, dan ada kemungkinan bisa dilakukan tindakan operasi. Keputusan: melanjutkan penantian.


26 Juli – Hari Rabu
Tadi malam ibuk menelepon kami dan menanyakan hasil kontrol kandungan kami yang terakhir. Pada intinya, sepertinya ibuk kurang setuju dengan keputusan yang kami ambil, dengan tidak segera pergi ke rumah sakit, saat saya sudah pembukaan dua. Selain itu, tadi malam saya juga merasa intensitas saya buang air kecil juga cukup tinggi. Alhasil, untuk meyakinkan air ketuban saya masih cukup dan agar perasaan ibuk lebih lega, akhirnya hari ini saya pergi untuk kontrol kandungan kembali. Namun, saya pergi ke dokter lain, karena saya takut jika saya kontrol ke dokter obgyn saya, akan dilakukan VT kembali dan langsung diminta untuk ke rumah sakit. Saat itu saya hanya ingin memastikan kondisi janin dan ketuban saya saja.  Dan hasilnya semua baik. Keputusan: melanjutkan penantian.

 27 Juli – Hari Kamis – Hari ulang tahun Ayah
Sebenarnya dalam hati, saya berharap bisa lahiran hari ini. Mengawali hari seperti biasanya, namun sepertinya ada yang tidak biasa. Saya mulai menyadari adanya kontraksi. Rasanya seperti sakit kram perut saat datang bulan. Semakin sore, saya semakin menyadari kalau intensitasnya antara 10-15 menit sekali. Namun, karena rasa sakitnya masih bisa saya tahan, saya tidak buru-buru pergi ke rumah sakit. Malamnya, ibuk menelepon kembali, dan menyarankan untuk segera ke rumah sakit agar saya bisa di observasi.  Namun setelah perdebatan yang panjang dengan suami, dan karena saya merasa rasa sakitnya masih tertahankan, saya putuskan untuk tetap tinggal di rumah, dan berjanji esoknya setelah subuh kami pergi ke rumah sakit. Tengah malam, saat buang air kecil, saya tidak hanya menemukan flek coklat, namun juga ada selaput putih yang bercampur dengan darah (berlendir). Tetap tenang, saya melanjutkan tidur sambil menahan rasa sakit kram perut.

28 Juli – Hari Jumat – Kontraksi yang ditunggu-tunggu dan diharapkan lekas pergi
Bangun subuh, kami langsung bersiap pergi ke rumah sakit. Berangkat pukul 06.00 pagi, kami tiba di rumah sakit sekitar pukul 06.30. Masuk ke ruang bersalin, bidan melakukan pemeriksaan VT terhadap saya. Ternyata saya sudah pembukaan empat. Saat pembukaan empat ini, saya masih bisa membaca Al-qur’an saat jeda kontraksi. Bidan kemudian menawarkan saya untuk pemasangan infus. Katanya, sebagai penambah tenaga. Satu jam kemudian, bidan melakukan pemeriksaa VT kembali. Dan saya sudah memasuki pembukaan enam. Saat pembukaan enam ini saya masih bisa sarapan pagi beberapa sendok.  Pukul 08.00 dokter obgyn saya datang, dan langsung melakukan pemeriksaan VT. Hasilnya, saya sudah memasuki pembukaan delapan. Namun, air ketuban saya tidak kunjung pecah. Akhirnya, dokter obgyn melakukan intervensi dan air ketuban saya dipecahkan secara paksa. Selanjutnya, rasa sakit yang saya rasakan semakin menjadi-jadi. Dan saya lebih sering berteriak. Akhirnya, fase proses persalinan tiba. Alkhamdulillah, sekitar pukul 08.50, sang bayi yang ditunggu-tunggu lahir ke dunia ini. Dan rasa kram perut tadi serta merta hilang sudah.

Melihat kronologis di atas, bisa terlihat kalau saya dan keluarga sangat merasa resah, ketika umur kehamilan saya lebih dari 40 minggu. Sampai-sampai dalam kurun waktu 1 minggu, saya melakukan usg sampai tiga kali. 

Resah : menanti meconium, umur bayi > 24 jam 
Setelah proses persalinan, serta merta bidan akan menawarkan dokter anak untuk memeriksa kondisi sang bayi. Yang saya tahu, dokter anak tersebut akan memastikan kondisi bayi, dimulai dari apakah bayi menangis atau tidak saat lahir? Apa warna air ketuban ibu ketika pecah? Selanjutnya denyut jantung bayi diperiksa, apakah normal? Bayi diberikan vaksin hepatitis. Kemudian, saat rawat inap, dokter anak akan memastikan apakah bayi kuning? Seberapa sering bayi buang air kecil dan besar? Serta memastikan apakah pelekatan  bayi dengan ibu sudah benar, terkait fase menyusui.

Disini, keresahan kedua saya muncul. Tiga kali sehari, suster akan visit ke kamar saya dan menanyakan apakah bayi saya sudah buang air besar? Sampai akhirnya 1x24 jam, sang bayi masih belum juga buang air besar. Dokter anak kemudian memeriksa fisik anus bayi. Dan hasilnya baik. Akhirnya, dokter memberikan waktu 1x24 jam lagi untuk menanti buang air besar sang bayi.

Karena sangat resah, saya mulai browsing mengenai feses pertama bayi yang baru lahir. Dari artikel ini, kami sekeluarga khawatir jika ada masalah pada sistem pencernaan sang bayi. Ketika memasuki masa 36 jam setelah kelahiran, tepatnya pukul 09.00 malam, suster datang ke kamar saya dan meminta ijin untuk membawa sang bayi untuk dilakukan observasi di ruang bayi. Saat bayi dibawa, suasana menjadi semakin tegang. Kami sekeluarga pasrah ketika bayi dibawa. Kemudian, alkhamdulillah hal “ajaib” terjadi. Sekitar 10 menit, setelah bayi saya dibawa, suster tadi tiba-tiba kembali ke kamar saya, dan mengabarkan kalau bayi saya sudah mengeluarkan meconium dari dalam tubuhnya.

Hari berikutnya bayi saya buang air besar sekitar tiga kali, dan frekuensinya semakin sering, seiring dengan pertumbuhannya. Kesannya memang sedikit merepotkan. Namun, intensitas buang air besar itu menandakan kalau sistem percernaannya baik dan asupan asinya juga cukup.

https://www.google.co.id/amp/s/hellosehat.com/mekonium-feses-pertama-bayi/amp/



Resah : menanti colostrum, dan akhirnya kesakitan karena “bendungan” 
Sebenarnya saya termasuk ibuk yang beruntung. Segera setelah sang bayi lahir, dokter obgyn dan bidan langsung melakukan “inisiasi  menyusui dini” kepada sang bayi sekitar satu jam-an.  Namun, ending-nya memang belum sukses, karena sang bayi belum sampai “nemplok” ke puting saya.

Setelah dilakukan i-em-de, sang bayi dibersihkan dan diserahkan kembali kepada saya untuk disusui.  Alkhamdulillah, bayi saya tidak bingung puting dan langsung menyusu. Namun, saya sanksi, apakah memang saya sudah memproduksi asi? Apakah memang puting saya sudah bisa mengeluarkan asi? Kemudian, bidan mengatakan “it’s ok”. Gerakan natural menyusu bayi akan otomatis menstimulan produksi asi. Alhasil, keluar atau tidak, saya selalu menyusui sang bayi ketika ia sadar (tidak tidur).

Kemudian, prahara dimulai saat malam terakhir di rumah sakit. Tiba-tiba saya merasa payudara saya sakit sekali. Akhirnya suster mengajak saya untuk pergi ke ruang bayi untuk melakukan pumping asi.  Lima menit, sepuluh menit menanti, tidak ada asi yang menetes satu pun. Saya mulai panik. Suster datang dan memeriksa payudara saya. Katanya, pada payudara saya sudah terlanjur terbentuk semacam “bendungan”. Suster kemudian membantu saya untuk mengkompres dan me-massage payudara saya, sembari saya pumping. Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya suster menyerah, dan meminta saya kembali ke kamar. Katanya, hisapan bayi saya lebih baik daripada hisapan pompa asi.

Kembali ke kamar, saya langsung brebes mili  menahan sakit dan rasa menggigil.  Suami kemudian memanggil suster untuk datang ke kamar. Alkhamdulillah, suster di RSIA sabar banget. Mbak suster langsung membangunkan bayi saya dan memaksanya  untuk menyusu.  Sambil sang bayi menyusu, suster membantu saya untuk me-massage payudara saya. Dan rasanya sakit sekali ketika “bendungan” itu dipijat  memutar-mutar. Namun, memang cara ini yang paling ampuh. Pelan tapi pasti, “bendungan” tersebut menghilang. Memang, antara ibu dan bayi sudah fitrahnya terjalin hubungan “symbiosis mutualisme”. Sang bayi kenyang, si ibu tidak kesakitan karena produksi asi berlebih dan “bendungan”.

Tambahan lagi, ketika kita menyusui sang bayi, secara tiba-tiba akan muncul sensasi kram perut. Serasa sang labor contraction melanda kembali. Namun, kata suster lagi, hal tersebut normal, karena dengan menyusui, kita akan memproduksi hormon yang secara otomatis membantu kita untuk memperkecil rahim.



Note:
Melahirkan di rumah sakit khusus ibu dan anak memang merupakan pilihan yang tepat. Otomatis, kita tidak bercampur dengan pasien dengan beragam tipe penyakit. Selain itu banyak suster-suster yang profesional dibidang  mothercare. Di rumah sakit ini, saya belajar banyak hal secara langsung. Cara memandikan bayi dan membersihkan tali pusat.  Mencoba beberapa posisi menyusui yang nyaman. Belajar cara mengatasi “bendungan” pada payudara. Dan, cara mengatasi bayi ketika demam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Clever Lands: Motivasi

Gegara punya anak (dan instagram), kebiasaan saya yang lama sempat menghilang. Yakni membaca dan menulis. Sekarang, sedikit sedikit saya ingin mengembalikan kebiasaan baik itu. Dimulai dari membaca. Usai membaca rasanya ingin menuangkannya dalam tulisan dan berbagi ke orang banyak. Gegara punya anak (juga), saya jadi gemar membaca buku parenting dan educating, salah satunya buku berjudul  Clever Lands.  Yang membandingkan sistem pendidikan di lima negara yang dianggap sukses dalam mendidik generasi muda. “Good education is a product of collaboration”. Dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari budaya, kebijakan pemerintah, sampai taktik dan strategi untuk meningkatkan motivasi belajar dan mengajar. Motivasi adalah dorongan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang kerap terus melakukan aktivitas belajar dan mengajar. “Motivation 1.0 is simply that we have a drive for survival. Motivation 2.0 is based on the assumption that humans seek reward and avoid puni...

Obrolan di Meja Makan

Entri ini adalah kelanjutan dari obrolan gak penting di meja makan dan terkait dengan status yang dipasang salah satu temen kantor di whatsap-nya – “Menyibak Fenomenalitas Mangkuk Ayam Jago” Cerita ini timbul karena di ruang makan mess, tersedia dua jenis sendok berbeda bentuk, dimana salah satu bentuk sendok tidak lazim digunakan untuk makan. Cerita ini berlanjut ketika kami berempat berdebat mengenai bentuk sendok yang tidak lazim tersebut. Saya dan Candra merasa sendok tersebut tidak cocok digunakan untuk menyuap nasi, dikarenakan bentuknya yang bulat dan terlalu besar dan lebih cocok digunakan sebagai sendok sup. Salah satu teman membela diri dengan pernyataan bahwa sendok inilah yang biasanya digunakan orang-orang Korea untuk makan nasi. Namun, setelah kami bertiga menilik lebih lanjut, bentuk kepala sendok bisa jadi mirip dengan sendok-sendok yang biasa digunakan orang-orang Korea. Tapi dari segi panjang sendok, jelas sangat berbeda dengan sendok Korea, yang setidak...

One Point Five Degree of Separation

  Akhir-akhir ini saya lagi seneng banget dengerin lagu-lagunya The Script. Dan disetiap ada kesempatan karaoke bareng temen-temen kantor, pasti setidaknya ada satu lagu The Script yang kita nyanyiin bareng. Irama yang dimainkan pada setiap lagunya enak banget untuk didengerin sebelum tidur, selagi di bus menuju kantor atau pulang dari kantor, atau selagi nunggu antrian mandi. Kesukaan saya pada lagu-lagu The Script berawal dari irama musiknya yang enak didengar. Entah lagu itu bercerita tentang apa, atau tentang siapa, pokoknya saya langsung jatuh hati pada semua lagunya. Berawal dari suka, saya mulai menyelami setiap lirik pada lagu-lagu The Script. Dan ternyata, hampir disetiap lagunya mengandung makna seorang "brokenhearted man", baik yang digambarkan secara frontal maupun secara eksplisit. Contohnya saja lagu yang paling sering diputer jaman kuliah dulu, “How can I move on when I still in love with you?” … “Thinking maybe you’ll come back here to ...