Bekal selama nge-trip,
ada peta provinsi Sulawesi Selatan, dan peta kota Makassar, mobil rental
selama tiga hari, uang bensin yang harus dipersiapkan selama menempuh jarak
yang panjang, setidaknya 2500 perak per kilometernya, makanan ringan, minuman
ringan, dan permen di mobil.
Perjalanan empat hari tiga malam ini, hanya memberikan
kesempatan kami tidur di hotel selama satu malam.
Hari pertama, kami berkeliling kota Makassar, dan ternyata
cukup mudah menghafalkannya. Makassar tidak seluas Jakarta, ataupun Surabaya.
Baru setengah hari berkeliling, kami sudah tahu lokasi Tanjung Bungah, Pantai
Losari, Trans Studio Makassar, Fort Rotterdam, Panakkukang Mall, Lapangan Karebosi,
Masjid Agung, Masjid Terapung, Universitas Hasanuddin, bahkan pusat oleh-oleh
di Somba Opu, tanpa tersesat (*Hahahah, sombong!). Merasa sudah mengenal kota
Makassar, rasanya konyol sekali ketika ada teman kantor yang asli orang
Makassar, tiba-tiba bilang kalau di
bawah Lapangan Karebosi ada sejenis plaza/square bawah tanah. Hahahah. Padahal
sudah gak terhitung saya tawaf di Karebosi, hotel juga deket-deket situ, tapi kami semua gak ada yang sadar kalau ada plaza di
sana.
Check out dari
hotel keesokan harinya, kami langsung meluncur ke Bantimurung, sebelum
melanjutkan perjalanan panjang ke Tana Toraja. Di Bantimurung, saya berharap bisa bertemu dengan jutaan kupu-kupu, tapi sayang kupu-kupu yang saya temui
hanya jutaan insektarium saja. Keluar Bantimurung sekitar pukul dua siang, kami
langsung melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja, Rantepao. Dan total perjalanan
Bantimurung – Rantepao kami tempuh selama sekitar 12 jam (*Heheh,, lambat banget ney kayak kura-kura).
Karena saya pikir mudah mencari penginapan di Rantepao, saya
tidak melakukan booking kamar
jauh-jauh hari. Nyatanya, perjuangan mencari kamar susah juga untuk
diperjuangkan. Selain karena waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, badan
pegal-pegal selama perjalanan, berkali-kali ditolak pemilik penginapan karena
kamar penuh, dan diperparah dengan anjing yang selalu menggonggong ketika kami
keluar mobil, seketika menghapus keinginan kami untuk berjuang mencari sebuah
kamar. Akhirnya kami pasrah tidur di mobil sambil menunggu fajar menyingsing.
Fajar menyingsing, waktunya meng-explore Tana Toraja, dan berwisata budaya, serta city tour. Yeyyy \m/. Dimulai dari Ke’te
Kesu dengan tongkonannya, Londa dengan kuburan di dalam gua, Lemo dengan
kuburan di dalam gunung batu, serta Kambira dengan kuburan bayi di dalam pohon.
Perasaan selama berwisata ke Toraja ini, sama seperti perasaan ketika pertama
kali menginjakkan kaki ke Pulau Dewata, Bali, karena banyak hal-hal yang gak biasa, serta menimbulkan decak kagum
ketika pertama melihatnya. Salut lah buat
penduduk asli Toraja yang kekeuh mempertahankan
tradisi nenek moyangnya; Mbak Emil, Pak Budi, Pak Daniel, Hartal, dan yang
lainnya (* Hahahah,, kenapa nama kalian malah eksis yah).
Berangkat ke Toraja lewat jalur barat, saatnya pulang lewat
jalur timur. Sebelum melanjutkan nge-trip
jalur timur, sebenarnya kami berencana mandi dulu di tempat pemandian umum
di Tilanga (*secara gak mandi pagi, xixixi).
Tapi apa boleh buat, karena sudah kesorean, akhirnya kami langsung tancap menuju Palopo. PR itinerary yang belum dikunjungi masih
ada dua lokasi lagi, yakni tempat pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru,
Bulukumba, serta Tanjung Bira.
Selama perjalanan dari Palopo ke Bulukumba, kalau
dihitung-hitung ada kali yah sepuluh
anjing yang mati kelindas mobil/truk. Kasian dehh, mereka kan gak bernyawa
sembilan kayak kucing. Malam ketiga,
kami lagi-lagi tidur di mobil, dipinggiran jalan menuju Sengkang. Sampai di
Bulukumba sekitar pukul dua belas siang, langsung dimanfaatkan untuk
menyelesaikan itinerary yang sudah
di-plan-kan.
Dari Bulukumba pukul empat sore, kami harus lekas-lekas
kembali ke Makassar untuk mengejar jadwal penerbangan menuju Surabaya pukul
setengah sepuluh malam. Wiiiii,, serem gak
tuh scheduled-nya. Walau ngebut selama perjalanan, kami tidak juga
melewatkan pemandangan keren selama menuju Makassar dari Janeponto. Di
kanan-kiri jalan terbentang luas padang rumput tandus yang mulai menguning,
tapi tetep keren. Apalagi banyak
kuda-kuda yang berlarian disana. Dan bener-bener
banyak. Serius itu kuda, bukan sapi loh.
Khusus di sebelah kiri (selatan), jauh dibelakang padang
rumput tersebut, kita bisa melihat garis pantai yang gak kalah keren sepanjang perjalan menuju Makassar, serta hamparan
garam putih yang siap panen (*kebayang gak
sey panasnya Makassar saat itu, udah sawah
menguning plus garam yang menumpuk). Sekali
lagi salut deh buat orang-orang
Makassar, lahan pertaniannya bener-bener
rapih, dan ketika musim kering seperti saat ini, dimanfaatkan untuk
hewan-hewan ternak mereka. Keren nya
lagi, panorama ini tidak ter-destruct oleh
rumah-rumah penduduk ***
Air Terjun Bantimurung |
Kuburan Lemo |
Ujung Pandang –
Maros – Bantimurung - Pangkajene
(Pangkep) – Barru – Wattan Soppeng – Pare-pare – Rappang (Sidrap) – Enrekang –
Makale – Rantepao – Palopo –
Sengkang – Watampone – Sinjai – Bulukumba – Tanjung Bira – Bulukumba – Bantaeng – Janeponto – Ujung Pandang
Note:
Kesulitan selama nge-trip
ini salah satunya adalah nama-nama kota yang tertera di peta, terkadang
tidak sama dengan nama beken-nya.
Contohnya aja “Pangkep”, sampe lebaran
monyet juga gak akan nemu di peta.
Pangkep ini ternyata kepanjangan dari Pangkajene Kepulauan. Terus, ada
“Sidrap”, kalo ini nama gabungan dari dua kota yang saling berdekatan,
Sidenreng dan Rappang. Terus, kalau mengacu pada peta, kota setelah Sengkang
adalah Watampone, tapi kenapa di plang hijau penunjuk arah jalan, gak ada yang mengarah ke Watampone?
Argghhh, ternyata Watampone itu adalah ibukota kabupaten Bone, dan tau sendiri kan yang familiar ditelinga kita adalah
Bone bukan Watempone.
Next, pengen lagi
main-main ke Sulawesi Selatan, karena masih ada PR satu itinerary yang
sebenarnya gak boleh terlewat, yakni
keindahan karst di sudut desa Ramang-ramang.
Komentar
Posting Komentar