Langsung ke konten utama

South Celebes Trip


Kalau area Sulawesi Selatan dianalogikan seperti bagian tubuh manusia, maka kita dapat melihatnya sebagai kaki manusia dari bagian tumit hingga ke panggul. Oktober 2013, kami sukses 'mengelilingi' Sulawesi Selatan, walaupun hanya sebatas tumit hingga ke paha saja.

Bekal selama nge-trip, ada peta provinsi Sulawesi Selatan, dan peta kota Makassar, mobil rental selama tiga hari, uang bensin yang harus dipersiapkan selama menempuh jarak yang panjang, setidaknya 2500 perak per kilometernya, makanan ringan, minuman ringan, dan permen di mobil.

Perjalanan empat hari tiga malam ini, hanya memberikan kesempatan kami tidur di hotel selama satu malam.
Hari pertama, kami berkeliling kota Makassar, dan ternyata cukup mudah menghafalkannya. Makassar tidak seluas Jakarta, ataupun Surabaya. Baru setengah hari berkeliling, kami sudah tahu lokasi Tanjung Bungah, Pantai Losari, Trans Studio Makassar, Fort Rotterdam, Panakkukang Mall, Lapangan Karebosi, Masjid Agung, Masjid Terapung, Universitas Hasanuddin, bahkan pusat oleh-oleh di Somba Opu, tanpa tersesat (*Hahahah, sombong!). Merasa sudah mengenal kota Makassar, rasanya konyol sekali ketika ada teman kantor yang asli orang Makassar, tiba-tiba bilang kalau di bawah Lapangan Karebosi ada sejenis plaza/square bawah tanah. Hahahah. Padahal sudah gak terhitung saya tawaf di Karebosi, hotel juga deket-deket situ, tapi kami semua gak ada yang sadar kalau ada plaza di sana.

Check out dari hotel keesokan harinya, kami langsung meluncur ke Bantimurung, sebelum melanjutkan perjalanan panjang ke Tana Toraja. Di Bantimurung, saya berharap bisa bertemu dengan jutaan kupu-kupu, tapi sayang kupu-kupu yang saya temui hanya jutaan insektarium saja. Keluar Bantimurung sekitar pukul dua siang, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja, Rantepao. Dan total perjalanan Bantimurung – Rantepao kami tempuh selama sekitar 12 jam (*Heheh,, lambat banget ney kayak kura-kura).

Karena saya pikir mudah mencari penginapan di Rantepao, saya tidak melakukan booking kamar jauh-jauh hari. Nyatanya, perjuangan mencari kamar susah juga untuk diperjuangkan. Selain karena waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, badan pegal-pegal selama perjalanan, berkali-kali ditolak pemilik penginapan karena kamar penuh, dan diperparah dengan anjing yang selalu menggonggong ketika kami keluar mobil, seketika menghapus keinginan kami untuk berjuang mencari sebuah kamar. Akhirnya kami pasrah tidur di mobil sambil menunggu fajar menyingsing.

Fajar menyingsing, waktunya meng-explore Tana Toraja, dan berwisata budaya, serta city tour. Yeyyy \m/. Dimulai dari Ke’te Kesu dengan tongkonannya, Londa dengan kuburan di dalam gua, Lemo dengan kuburan di dalam gunung batu, serta Kambira dengan kuburan bayi di dalam pohon. Perasaan selama berwisata ke Toraja ini, sama seperti perasaan ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Pulau Dewata, Bali, karena banyak hal-hal yang gak biasa, serta menimbulkan decak kagum ketika pertama melihatnya. Salut lah buat penduduk asli Toraja yang kekeuh mempertahankan tradisi nenek moyangnya; Mbak Emil, Pak Budi, Pak Daniel, Hartal, dan yang lainnya (* Hahahah,, kenapa nama kalian malah eksis yah).

Berangkat ke Toraja lewat jalur barat, saatnya pulang lewat jalur timur. Sebelum melanjutkan nge-trip jalur timur, sebenarnya kami berencana mandi dulu di tempat pemandian umum di Tilanga (*secara gak mandi pagi, xixixi). Tapi apa boleh buat, karena sudah kesorean, akhirnya kami langsung tancap menuju Palopo. PR itinerary yang belum dikunjungi masih ada dua lokasi lagi, yakni tempat pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru, Bulukumba, serta Tanjung Bira.

Selama perjalanan dari Palopo ke Bulukumba, kalau dihitung-hitung ada kali yah sepuluh anjing yang mati kelindas mobil/truk. Kasian dehh, mereka kan gak bernyawa sembilan kayak kucing. Malam ketiga, kami lagi-lagi tidur di mobil, dipinggiran jalan menuju Sengkang. Sampai di Bulukumba sekitar pukul dua belas siang, langsung dimanfaatkan untuk menyelesaikan itinerary yang sudah di-plan-kan.

Dari Bulukumba pukul empat sore, kami harus lekas-lekas kembali ke Makassar untuk mengejar jadwal penerbangan menuju Surabaya pukul setengah sepuluh malam. Wiiiii,, serem gak tuh scheduled-nya. Walau ngebut selama perjalanan, kami tidak juga melewatkan pemandangan keren selama menuju Makassar dari Janeponto. Di kanan-kiri jalan terbentang luas padang rumput tandus yang mulai menguning, tapi tetep keren. Apalagi banyak kuda-kuda yang berlarian disana. Dan bener-bener banyak. Serius itu kuda, bukan sapi loh.

Khusus di sebelah kiri (selatan), jauh dibelakang padang rumput tersebut, kita bisa melihat garis pantai yang gak kalah keren sepanjang perjalan menuju Makassar, serta hamparan garam putih yang siap panen (*kebayang gak sey panasnya Makassar saat itu, udah sawah menguning plus garam yang menumpuk). Sekali lagi salut deh buat orang-orang Makassar, lahan pertaniannya bener-bener rapih, dan ketika musim kering seperti saat ini, dimanfaatkan untuk hewan-hewan ternak mereka. Keren nya lagi, panorama ini tidak ter-destruct oleh rumah-rumah penduduk ***


Air Terjun Bantimurung
Kuburan Lemo
Rumah Adat Tongkonan
Kerangka Pinisi Bulukumba
Tau-tau Maker

South Celebes Trip:
Ujung Pandang – Maros – Bantimurung - Pangkajene (Pangkep) – Barru – Wattan Soppeng – Pare-pare – Rappang (Sidrap) – Enrekang – Makale – Rantepao – Palopo – Sengkang – Watampone – Sinjai – Bulukumba – Tanjung Bira – Bulukumba – Bantaeng – Janeponto – Ujung Pandang      



Note:
Kesulitan selama nge-trip ini salah satunya adalah nama-nama kota yang tertera di peta, terkadang tidak sama dengan nama beken-nya. Contohnya aja “Pangkep”, sampe lebaran monyet juga gak akan nemu di peta. Pangkep ini ternyata kepanjangan dari Pangkajene Kepulauan. Terus, ada “Sidrap”, kalo ini nama gabungan dari dua kota yang saling berdekatan, Sidenreng dan Rappang. Terus, kalau mengacu pada peta, kota setelah Sengkang adalah Watampone, tapi kenapa di plang hijau penunjuk arah jalan, gak ada yang mengarah ke Watampone? Argghhh, ternyata Watampone itu adalah ibukota kabupaten Bone, dan tau sendiri kan yang familiar ditelinga kita adalah Bone bukan Watempone.

Next, pengen lagi main-main ke Sulawesi Selatan, karena masih ada PR satu itinerary yang sebenarnya gak boleh terlewat, yakni keindahan karst di sudut desa Ramang-ramang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Clever Lands: Motivasi

Gegara punya anak (dan instagram), kebiasaan saya yang lama sempat menghilang. Yakni membaca dan menulis. Sekarang, sedikit sedikit saya ingin mengembalikan kebiasaan baik itu. Dimulai dari membaca. Usai membaca rasanya ingin menuangkannya dalam tulisan dan berbagi ke orang banyak. Gegara punya anak (juga), saya jadi gemar membaca buku parenting dan educating, salah satunya buku berjudul  Clever Lands.  Yang membandingkan sistem pendidikan di lima negara yang dianggap sukses dalam mendidik generasi muda. “Good education is a product of collaboration”. Dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari budaya, kebijakan pemerintah, sampai taktik dan strategi untuk meningkatkan motivasi belajar dan mengajar. Motivasi adalah dorongan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang kerap terus melakukan aktivitas belajar dan mengajar. “Motivation 1.0 is simply that we have a drive for survival. Motivation 2.0 is based on the assumption that humans seek reward and avoid puni...

Obrolan di Meja Makan

Entri ini adalah kelanjutan dari obrolan gak penting di meja makan dan terkait dengan status yang dipasang salah satu temen kantor di whatsap-nya – “Menyibak Fenomenalitas Mangkuk Ayam Jago” Cerita ini timbul karena di ruang makan mess, tersedia dua jenis sendok berbeda bentuk, dimana salah satu bentuk sendok tidak lazim digunakan untuk makan. Cerita ini berlanjut ketika kami berempat berdebat mengenai bentuk sendok yang tidak lazim tersebut. Saya dan Candra merasa sendok tersebut tidak cocok digunakan untuk menyuap nasi, dikarenakan bentuknya yang bulat dan terlalu besar dan lebih cocok digunakan sebagai sendok sup. Salah satu teman membela diri dengan pernyataan bahwa sendok inilah yang biasanya digunakan orang-orang Korea untuk makan nasi. Namun, setelah kami bertiga menilik lebih lanjut, bentuk kepala sendok bisa jadi mirip dengan sendok-sendok yang biasa digunakan orang-orang Korea. Tapi dari segi panjang sendok, jelas sangat berbeda dengan sendok Korea, yang setidak...

One Point Five Degree of Separation

  Akhir-akhir ini saya lagi seneng banget dengerin lagu-lagunya The Script. Dan disetiap ada kesempatan karaoke bareng temen-temen kantor, pasti setidaknya ada satu lagu The Script yang kita nyanyiin bareng. Irama yang dimainkan pada setiap lagunya enak banget untuk didengerin sebelum tidur, selagi di bus menuju kantor atau pulang dari kantor, atau selagi nunggu antrian mandi. Kesukaan saya pada lagu-lagu The Script berawal dari irama musiknya yang enak didengar. Entah lagu itu bercerita tentang apa, atau tentang siapa, pokoknya saya langsung jatuh hati pada semua lagunya. Berawal dari suka, saya mulai menyelami setiap lirik pada lagu-lagu The Script. Dan ternyata, hampir disetiap lagunya mengandung makna seorang "brokenhearted man", baik yang digambarkan secara frontal maupun secara eksplisit. Contohnya saja lagu yang paling sering diputer jaman kuliah dulu, “How can I move on when I still in love with you?” … “Thinking maybe you’ll come back here to ...